Mengharapkan udara yang kita hirup bersih dari polusi asap rokok rasanya semakin tak realistis saja Baru-baru ini, permohonan uji materil terhadap pasal penayangan iklan rokok yang diajukan Komnas Anak ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, rokok adalah barang legal sehingga tidak ada alasan untuk melarang iklannya ditayangkan. Sebelumnya, pemerintah sudah banyak menerbitkan peraturan yang mendukung industri rokok tumbuh subur. Tak sadarkah para pemimpin kita ini dengan apa yang telah mereka perbuat?
Data terakhir menunjukkan, 70% penduduk Indonesia adalah perokok −peringkat kelima setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. Ironisnya, sebagian besar di antaranya adalah masyarakat miskin! Setiap tahun, triliunan rupiah dibakar begitu saja. Setiap hari, seribu nyawa melayang sia-sia.
Indonesia, surga perokok
Industri rokok di negara maju ditentang dan ditolak. Kemudian industri ini dialihkan ke negara berkembang karena peraturannya yang lemah, salah satunya Indonesia. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi pengendalian rokok dan tembakau. Pemerintah beralasan banyak penduduk Indonesia yang sampai saat ini bergantung pada industri rokok baik langsung ataupun tidak langsung. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai surga bagi para perokok.
RUU rokok masih mandeg (dan menunggu untuk membusuk) di gedung dewan. Penolakan dari kalangan industri rokok-lah yang menjadi pengganjalnya. Keberpihakkan pemerintah pada pengusaha rokok memang sudah sangat jelas. Pada tahun 2007, jajaran Instansi Pemerintah, Departemen Keuangan, Depnakertrans, dan Departemen Pertanian bersama Asosiasi Produk Rokok (GAPRI dan GAPRINDO) menetapkan kebijakan Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai 2007-2012 untuk menggenjot terus produksi rokok hingga mencapai 240 miliar batang (pada tahun 2001-2010) dan 260 miliar batang (pada tahun 2015-2020) (Sabili, edisi 12 Th. XVI 1 Januari 2009).
Sejumlah pemerintah daerah sempat menerbitkan perda larangan merokok, namun kini peraturan tinggallah peraturan. Orang-orang pun kembali bebas merokok. Di bandara, fasilitas kesehatan, pusat perbelanjaan, kampus (yang katanya lingkungan kaum intelektual), dan di ruang-ruang publik lainnya. Dibeberapa tempat bahkan disediakan ruangan khusus.
Bisnis rokok memang menggiurkan. Setahunnya, cukai rokok bisa mencapai Rp 40-50 triliun! Tidak mengherankan karena dari hasil suatu penelitian beberapa waktu lalu, ditemukan bahwa saat ini rokok sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, harga ini harus ditebus dengan tingkat kematian akibat konsumsi rokok yang cukup tinggi, yakni 400.000 jiwa/tahun atau sekitar 1000 jiwa/hari. Selain itu, keuntungan ini sebenarnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan. Tahun 2005 saja, biaya kesehatan ini menyentuh angka Rp 180 triliun rupiah. Seiring dengan terus meningkatnya konsumsi rokok, angka ini juga tentunya akan terus membesar.
Tidak hanya di kalangan orang tua, tapi juga anak muda. Data yang ada menunjukkan, perokok remaja kian bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Komnas Anak juga menyatakan bahwa anak-anak pun sudah mulai terdampak oleh promosi rokok yang begitu gencar sehingga banyak anak-anak yang baru berusia 5-9 tahun sudah mulai merokok.
Demikianlah gambaran mengenai masyarakat kita sekarang yang telah diperbudak rokok. Ya, selain korupsi, rokok juga telah menjadi racun berbahaya bagi negara ini. Tidak hanya menghambat kemajuan, niscaya lambat laun rokok juga akan membawa Indonesia kepada kehancuran. Melarang keberadaan rokok sama artinya dengan menyelamatkan nasib generasi penerus bangsa sekaligus nasib negara ini di masa depan. Namun, masihkah kepentingan bangsa dan negara menjadi pijakan pemerintah kita dalam membuat kebijakan?*** (NF)
Data terakhir menunjukkan, 70% penduduk Indonesia adalah perokok −peringkat kelima setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. Ironisnya, sebagian besar di antaranya adalah masyarakat miskin! Setiap tahun, triliunan rupiah dibakar begitu saja. Setiap hari, seribu nyawa melayang sia-sia.
Indonesia, surga perokok
Industri rokok di negara maju ditentang dan ditolak. Kemudian industri ini dialihkan ke negara berkembang karena peraturannya yang lemah, salah satunya Indonesia. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi pengendalian rokok dan tembakau. Pemerintah beralasan banyak penduduk Indonesia yang sampai saat ini bergantung pada industri rokok baik langsung ataupun tidak langsung. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai surga bagi para perokok.
RUU rokok masih mandeg (dan menunggu untuk membusuk) di gedung dewan. Penolakan dari kalangan industri rokok-lah yang menjadi pengganjalnya. Keberpihakkan pemerintah pada pengusaha rokok memang sudah sangat jelas. Pada tahun 2007, jajaran Instansi Pemerintah, Departemen Keuangan, Depnakertrans, dan Departemen Pertanian bersama Asosiasi Produk Rokok (GAPRI dan GAPRINDO) menetapkan kebijakan Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai 2007-2012 untuk menggenjot terus produksi rokok hingga mencapai 240 miliar batang (pada tahun 2001-2010) dan 260 miliar batang (pada tahun 2015-2020) (Sabili, edisi 12 Th. XVI 1 Januari 2009).
Sejumlah pemerintah daerah sempat menerbitkan perda larangan merokok, namun kini peraturan tinggallah peraturan. Orang-orang pun kembali bebas merokok. Di bandara, fasilitas kesehatan, pusat perbelanjaan, kampus (yang katanya lingkungan kaum intelektual), dan di ruang-ruang publik lainnya. Dibeberapa tempat bahkan disediakan ruangan khusus.
Bisnis rokok memang menggiurkan. Setahunnya, cukai rokok bisa mencapai Rp 40-50 triliun! Tidak mengherankan karena dari hasil suatu penelitian beberapa waktu lalu, ditemukan bahwa saat ini rokok sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, harga ini harus ditebus dengan tingkat kematian akibat konsumsi rokok yang cukup tinggi, yakni 400.000 jiwa/tahun atau sekitar 1000 jiwa/hari. Selain itu, keuntungan ini sebenarnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan. Tahun 2005 saja, biaya kesehatan ini menyentuh angka Rp 180 triliun rupiah. Seiring dengan terus meningkatnya konsumsi rokok, angka ini juga tentunya akan terus membesar.
Tidak hanya di kalangan orang tua, tapi juga anak muda. Data yang ada menunjukkan, perokok remaja kian bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Komnas Anak juga menyatakan bahwa anak-anak pun sudah mulai terdampak oleh promosi rokok yang begitu gencar sehingga banyak anak-anak yang baru berusia 5-9 tahun sudah mulai merokok.
* * *
Demikianlah gambaran mengenai masyarakat kita sekarang yang telah diperbudak rokok. Ya, selain korupsi, rokok juga telah menjadi racun berbahaya bagi negara ini. Tidak hanya menghambat kemajuan, niscaya lambat laun rokok juga akan membawa Indonesia kepada kehancuran. Melarang keberadaan rokok sama artinya dengan menyelamatkan nasib generasi penerus bangsa sekaligus nasib negara ini di masa depan. Namun, masihkah kepentingan bangsa dan negara menjadi pijakan pemerintah kita dalam membuat kebijakan?*** (NF)
0 komentar